HENDRAYADI FARAIANSYAH
NIM : 5215107316
NIM : 5215107316
SUMBER SKRIPSI
Nama : Achmad
Tahun Lulus : 2008
No.Reg : 5215047423
Pembimbing 1 :Dr. YuliatriSastrawijaya, M.Pd
Pembimbing 2 :Drs. Jusuf Bintoro, MT
Motivasi Anak Jalanan Dalam menempuh Masa depan Studi Kasus di Panti Pembinaan Anak (PPA) Bambu Apus Oleh Hendrayadi faraiansyah (52151017316, ELKA NR) (Mahasiswa Univ.Negeri Jakarta)
Abstrak : Studi ini bertujuan untuk mengetahui antara lain: (1) latar belakang kehidupan anak-anak jalanan sebelum memasuki panti sosial anak Bambu Apus, (2) untuk mengetahui bentuk pembinaan yang diberikan oleh pihak panti sosial bambu Apus kepada anak-anak jalanan, (3) untuk mengetahui motivasi anak jalanan dalam mempersiapkan dan menempuh masa depannya pasca pembinaan di panti sosial anak bambu Apus, (4) Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif naturalistik dengan pendekatan studi kasus. Subyek penelitian ini adalah beberapa anak penghuni Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus Jakarta Timur.Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive snowball sampling, dengan teknik wawancara semiterstruktur (semistructure interview). Hasill penelitian mengungkapkan bahwa: (1) Rata-rata motivasi anak jalanan untuk menempuh masa depan kurang, dikarenakan latar belakang mereka dari keluarga miskin yang tidak maksimal mencukupi kebutuhan hidup. (2) Hanya ada beberapa dari mereka yang berminat untuk belajar secara formal dan yang lainnya hanya berminat untuk mengikuti pelatihan-pelatihan. (3) Pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti kebanyakan tidak dilakukan secara maksimal, sehingga perlu diterapkan metode pelatihan yang mengacu pada peningkatan kualitas.
Kata kunci: motivasi, anak jalanan, masa depan.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Dasawarsa terakhir ini isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia, mulai dari permasalahan buruh anak, peradilan anak, pelecehan seksual pada anak, dan anak jalanan. Hal tersebut juga dicerminkan dari banyaknya dokumen internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Sedikitnya terdapat 16 dokumen internasional yang terkait dengan permasalahan anak, beberapa diantaranya: United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, Resolusi PBB 1985; The use of Children in The Illicit Traffics in Narcotic Drugs, Resolusi PBB MU-PBB 1988; Convention on The Right of The Child, Resolusi MU-PBB 1989; The Effect of Armed Conflict on Children Lives, Resolusi Komisi HAM PBB 1991; The Special Rapporteur on The Sale of Children, Child Prostitution And Child Pornography, Resolusi Komisi HAM PBB 1994.
Salah satu isu kesejahteraan anak yang terus berkembang menjadi perhatian dunia adalah masalah anak jalanan. Laporan dunia tentang situasi anak menyebutkan bahwa terdapat 30 juta anak tinggal dan menjaga diri mereka sendiri di jalan, sementara di Asia saat ini paling tidak terdapat sekitar 20 juta anak jalanan. Jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun yang akan datang (Childhope, 1991:40).
Demikian halnya di Indonesia, laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1994) memberitakan bahwa fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kualitas maupun kuantitas. Penelitian tersebut menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan berasal dari keluarga tidak mampu. Namun demikian hubungan kemiskinan dengan perginya anak ke jalanan bukanlah merupakan hubungan yang sederhana, diantaranya terdapat faktor-faktor intermediate seperti harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan anak dan langkanya dukungan keluarga (family support) pada saat krisis keluarga di rumah.
Hingga saat ini penangan masalah anak jalanan masih terbatas. Tinjauan terhadap berbagai kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa secara konseptual penanganan anak jalanan dijamin oleh kebijakan yang ada, namun hasil survey Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia terhadap 100 anak di jalan, menunjukkan hasil sebaliknya, hanya 10% anak jalanan yang terjangkau oleh program penanganan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun yang dilaksanakan oleh lembaga swadaya masyarakat (Publikasi YKAI, 1994).
Jika ditelusuri secara mendalam, fenomena anak jalanan secara garis besar sebagai akibat dari dua hal mendasar, yang pertama adalah problema psikososial, dimana hubungan antara orang tua dan anak tidak harmonis. Orang tua kurang peduli dan kurang perhatian kepada anak-anaknya sehingga anak mencari perhatian diluar rumah, yakni jalanan sebagai bentuk pelarian atau kompensasinya. Kedua, problema sosial ekonomi yang didominasi oleh masalah kemiskinan dan kebodohan, sehingga banyak orang tua atau keluarga yang tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar anak termasuk kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan secara layak. Kurang atau tidak tersedianya fasilitas bermain bagi anak-anak di tempat tinggal mereka yang kumuh.
Dalam kondisi keluarga miskin, melarang mempekerjakan anak untuk membantu ekonomi keluarga menjadi tidak rasional bagi kelangsungan hidup keluarga. Pendekatan formal melalui penerapan hukum yang ketat terhadap pekerja anak akan sia-sia dilakukan, karena tidak akan memecahkan masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Oleh karena itu perlu dicarikan jalan pemecahan yang dapat memberikan solusi bagi akar permasalahan yang sesungguhnya.
Identifikasi Masalah
Dalam menjalankan fungsi dan perannya, SDC Bambu Apus dituntut untuk professional dan dinamis sehingga mampu menjalankan dan mengembangkan aset-aset yang dimilikinya untuk digunakan seluas-luasnya dalam upaya memecahkan sebagian permasalahan anak jalanan. Dengan latar belakang seperti yang diuraikan diatas dan melihat fenomena yang terjadi dilapangan, maka muncul beberapa pertanyaan, antara lain:
1. Bagaimana motivasi anak jalanan yang dididik di panti anak/SDC menghadapi masa depan?
2. Apakah anak-anak yang diasuh di panti memiliki minat belajar di sekolah formal?
3. Apakah latar belakang anak di keluarga dan di jalanan sebelum masuk ke panti anak/SDC akan mempengaruhi sikap dan motivasi anak di panti anak/SDC?
4. Bagaimana kehidupan anak-anak jalanan itu sebelum mereka memasuki panti anak/SDC?
5. Jenis pembinaan seperti apa yang diterapkan di panti anak/SDC?
6. Apakah dampak (outcomes) dari pelatihan-pelatihan di panti anak/SDC terhadap anak jalanan?
7. Apakah anak-anak di panti anak/SDC memiliki cita-cita yang difasilitasi oleh panti dalam upaya menuju pencapaian cita-cita?
8. Jenis keterampilan apa yang diinginkan oleh anak-anak jalanan tersebut yang belum ada di panti anak/SDC yang menurut mereka lebih tepat diselenggarakan di panti anak/SDC?
Fokus Penelitian
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan diatas terdapat banyak masalah yang dapat menjadi fokus penelitian, namun tentu tidak dapat diteliti sekaligus dalam satu waktu penelitian oleh karena keterbatasan peneliti dan waktu penelitian, maka penelitian ini hanya difokuskan pada motivasi anak jalanan dalam menempuh masa depan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan fokus penelitian masalah diatas, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan yang dijalani oleh anak-anak jalanan sebelum mereka memasuki panti sosial anak Bambu Apus?
2. Jenis pembinaan apa saja yang diberikan oleh pihak panti sosial anak Bambu Apus kepada mantan anak-anak jalanan tersebut?
3. Bagaimana motivasi anak jalanan dalam mempersiapkan dan menempuh masa depannya setelah mengikuti pelatihan dan pembinaan di panti sosial anak Bambu Apus?
Manfaat Penelitian
1. Bagi pihak panti sosial anak Bambu Apus, diharapkan penelitian ini berguna sebagai masukan dalam pengembangan program pembinaan anak jalanan selanjutnya.
2. Bagi anak-anak jalanan, diharapkan penelitian ini dapat mengunkap keinginan dan aspirasi mereka terhadap lembaga pemerintah yang mengurusi masalah-masalah anak jalanan.
3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan para peneliti dan dapat memberi motivasi untuk meningkatkan kemampuan meneliti dan meningkatkan daya guna di masyarakat.
4. Bagi pembaca umumnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat mengetuk hati mereka agar lebih perduli terhadap masalah-masalah sosial, khususnya masalah anak jalanan yang merupakan fenomena tak terbantahkan namun diabaikan.
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian dan Karakteristik Anak Jalanan
Sebenarnya istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (B.S. Bambang, 1993: 9). anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktifitas lain. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampak dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan lebih mudah tertular kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan penyalagunaan obat. Lebih memprihatinkan lagi, lingkungan akan mendorong Anak jalanan menjadi obyek seksual seperti sodomi atau pelacuran anak.
Menurut Soedijar (1989) dalam studinya menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak usia antara 7 sampai 15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya.
Putranto dalam Agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan anak jalanan sebagai anak berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi dan tidak tinggal bersama orang tua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum. Selain itu Sugeng Rahayu mendefinisikan anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari nafkah yang dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko/kios).
Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan di bedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.: 1997), yaitu:
Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak–di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya;
Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab – biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual (Irwanto, 1995).
Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya (Blanc & Associates, 1990;Irwanto dkk,1995; Taylor & Veale, 1996).
Menurut penelitian Departemen Sosial dan UNDP di Jakarta dan Surabaya (BKSN, 2000:2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori:
1. Anak jalanan yang hidup dijalanan, dengan kriteria:
a. Putus hubungan atau lama tidak ketemu
dengan orang tuanya;
b. 8-10 jam berada di jalanan untuk “bekerja” (mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya menggelandang / tidur;
c. Tidak lagi sekolah;
d. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan,
dengan kriteria :
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b. 8-16 jam berada di jalanan
c. mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua/saudara, umumnya didaerah kumuh;
d. Tidak lagi sekolah;
e. Pekerjaan : penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu, dll;
f. Rata-rata berusia dibawah 16 tahun.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan,
dengan kriteria :
a. Bertemu taratur setiap hari / tinggal dan tidur dengan keluarganya;
b. 4-5 jam kerja dijalanan;
c. Masih bersekolah;
d. Pekerjaan : Penjual koran, penyemir, pengamen, dll;
e. Usia rata-rata di bawah 14 tahun.
4. Anak jalanan berusia diatas 16 tahun,
dengan kriteria :
a. Tidak lagi berhubungan / berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b. 8-24 jam berada di jalanan;
c. Tidur dijalan atau rumah orang tua;
d. Sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah lagi;
e. Pekerjaan : calo, mencuci bis, menyemir, dll.
Lebih rinci dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:23-24) karakteristik anak jalanan dituangkan dalam matrik berupa tabel ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan berikut ini :
Ciri Fisik
Ciri Psikis
Warna kulit kusam
Rambut Kemerah-merahan
Kebanyakan berbadan kurus
Pakaian tidak terurus
Mobilitas tinggi
Acuh tak acuh
Penuh curiga
Sangat sensitif
Berwatak keras
Kreatif
Semangat hidup tinggi
Berani menanggung resiko
Mandiri
Tabel 2.1 Ciri-ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan
Faktor-Faktor Penyebab Timbul dan Tumbuhnya Anak Jalanan
Sementara ini banyak orang mengira bahwa faktor utama yang menyebabkan anak turun ke jalanan untuk bekerja dan hidup dijalan adalah karena faktor kemiskinan. Namun data dari literatur yang ada menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penyebab anak turun ke jalan. Berikut ini adalah secara umum ada tiga tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan (Depsos, 2001:25-26):
1. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya
2. Tingkat messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada dimasyarakat
3. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro.
Pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga bisa berdiri sendiri, yakni:
1. Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
2. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orangtua, salah perawatan atau kekerasan dirumah, Kesulitan berhubungan dengan keluarga / tetangga, terpisah dengan orangtua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial.
Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi:
1. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan keluarga, anak-anak diajarka bekerja yang berakibat drop out dari sekolah.
2. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu.
3. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.
Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah:
1. Ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama dijalanan dan meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi.
2. Pendidikan adalah biaya sekolah yang tinggi, prilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.
3. Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security approach/pendekatan keamanan).
Faktor-faktor yang membuat keluarga dan anaknya terpisah (BKSN,2000:111) adalah:
1. Faktor pendorong:
a. Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh besarnya kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, maka anak-anak disuruh ataupun dengan sukarela membantu mengatasi kondisi ekonomi tersebut.
b. Ketidakserasian dalam keluarga, sehingga anak tidak betah tinggal dirumah /anak lari dari keluarga.
c. Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orang tua terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah.
d. Kesulitan hidup dikampung, anak melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa.
2. Faktor Penarik:
a. Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.
b. Diajak teman.
c. Adanya peluang disektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.
Disamping faktor-faktor tersebut diatas lingkungan komunitas juga sebagai penyebab bagi gejala anak dijalanan terutama yang erat kaitannya dengan fungsi stabilitas sosial dari komunitas itu sendiri. Ada dua fungsi utama stabilitas komunitas, yaitu pemeliharaan tata nilai dan pendistribusian kesejahteraan dalam kalangan komunitas yang bersangkutan. Dalam pemeliharaan tata nilai misalnya tetangga atau tokoh masyarakat tidak menasehati menegor, ataupun melarang anak berkeliaran dijalan. Dan berkenaan dengan pendistribusian kurangnya bantuan dari tetangga atau organisasi sosial kemasyarakatan terhadap keluarga miskin dilingkungannya. Dengan kata lain belum memberikan perlindungan terhadap anak yang terlantar dilingkungan komunitasnya.
Proses Terjadinya Anak Jalanan
Oleh Tjuk Kasturi Sukiadi (1999:10) diungkapkan, bahwa proses terjadinya anak jalanan dibagi dalam beberapa pentahapan:
Tahap I : Pengetahuan Sampai Adanya Ketertarikan
Ada kebiasaan semakin berkelompok dari anak-anak di perkampungan. Mereka ini biasanya bersama kelompoknya jalan-jalan ketempat sebagaimana telah disepakati bersama. Diperjalanan mereka menjumpai anak-anak jalanan sedang bekerja. Sampai disini masih sebatas melihat dan sebagai pengetahuan mereka, bahwa ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan itu bisa dilakukan anak seusia mereka. Pada tahap ini masih tergantung pada masing-masing anak, seberapa besar perhatian dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut. Namun dalam tahap ini tidak membuat anak langsung turun ke jalan, melainkan bergantung pada stimulus berikutnya (ada fasilitas)
Tahap II : Ketertarikan Sampai Keinginan
Dalam tahap ini merupakan tahap ketertarikan yang telah mendapat “fasilitas” atau faktor pendorong, seperti kondisi ekonomi atau kondisi keretakan hubungan orang tua. Fasilitas tersebut, akan semakin memperkuat keinginan anak untuk turun ke jalan.
Tahap III : Pelaksanaan
Si anak mulai melaksanakan niatan dengan mendatangi tempat operasi. Bila disini mereka menemukan teman yang sudah dikenal maka keinginan segera terealisasi meski agak malu-malu.
Tahap IV : Mulai Memasuki kehidupan Anak Jalanan
Dalam tahap ini si anak akan diterpa berbagai pengaruh kehidupan jalanan. Namun demikian hal ini juga tergantung pada diri anak itu sendiri dan teman yang membawanya. Yang tak kalah penting peranan orang tua untuk tetap mengontrolnya. Bila ketiga pihak diatas masih berada dijalanan, anak akan tetap positif dan tak tercerabut dari norma dan nilai yang telah dipegang sebelumnya.
Tahap V : Terjerumusnya atau Kembali Pada Kehidupan Wajar
Bila dalam perkembangannya si anak merasa bahwa mencari nafkah dijalanan semakin sulit, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bertahan dengan tetap memegang norma kemasyarakatan atau keluar dari komunitas jalanan. Kemungkinan kedua, bila menerima stimulus baik dari kawan maupun pihak lain untuk berbuat negatif, maka si anak sudah masuk dalam kategori anak jalanan bebas dimana norma agama dan kemasyarakatan cenderung ditinggalkan. Pada tahap inilah kecenderungan berprilaku menyimpang terjadi seperti, judi seks bebas, atau tindakan kriminal lainnya.
Motivasi Meraih Masa Depan
Setiap individu memiliki kondisi internal, dimana kondisi internal tersebut turut berperan dalam aktivitasnya sehari – hari. Salah satu dari kondisi internal tersebut adalah motivasi. Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang untuk bertingkah laku. Djaali (2007) menyebutkan bahwa motivasi adalah kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong untu melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (kebutuhan).
Sementara Hamalik (2007) menyebutkan motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Fungsi motivasi sendiri adalah, 1) Mendorong timbulnya kekuatan atau perbuatan. Tanpa adanya motivasi tentu tidak akan timbul suatu perbuatan, seperti belajar; 2) Memotivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan mencapai tujuan yang diinginkan; 3) motivasi sebagai penggerak, yaitu, semacam mesin bagi mobil. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Istilah motivasi berasal dari kata motif, yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Uno (2007) menyebutkan bahwa motif berdasarkan sumbernya, dibedakan menjadi dua macam yaitu motif intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik, timbulnya tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang sudah ada dalam dirinya sendiri, yaitu sesuai dan sejalan dengan kebutuhannya. Sedangkan motif ekstrinsik, timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya dalam pendidikan terdapat minat yang positif terhadap kegiatan pendidikan timbul karena melihat manfaatnya.
Motif intrinsik lebih kuat daripada motif ekstrinsik. Oleh karena itu pendidik harus berusaha menimbulkan motif intrinsik dengan menumbuhkan dan mengembangkan minat siswa terhadap bidang studi – bidang studi yang relevan, yaitu dengan jalan mengatur kondisi dan situasi belajar yang kondusif. Beberapa hal yang dapat menimbulkan motif intrinsik, antara lain: 1) Pendidik memperlakukan anak didiknya sebagai manusia berpribadi, menghargai pendapatnya, pikirannya, perasaannya, maupun keyakinannya; 2) Pendidik menggunakan berbagai metode dalam kegiatan pembelajaran; 3) Pendidik senantiasa memberikan bimbingan dan juga pengarahan kepada anak didiknya dan membantu apabila mengalami kesulitan, baik yang bersifat pribadi maupun akademik; 4) Pendidik harus mempunyai pengetahuan yang luas dan penguasaan bidang studi atau materi yang diajarkan anak didiknya; 5) pendidik harus mempunyai rasa cinta dan sikap pengabdian kepada profesinya sebagai seorang pendidik.
Motivasi adalah tenaga dorong yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah tujuan tertentu. Adanya motivasi pada diri siswa dapat terindikasi oleh kuatnya tingkah laku siswa untuk mencapai tujuan. Apabila siswa mempunyai motivasi tinggi, maka ia akan memperlihatkan dan mempunyai perhatian yang intens, bekerja keras dan memberikan waktu untuk usaha tersebut dan akan terus bekerja sampai tugas tersebut terselesaikan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif naturalistik dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena – fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010 yang berlokasi di Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus.
Penetapan Responden
Responden penelitian ini adalah beberapa anak penghuni Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus Jakarta Timur. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive snowball sampling, yaitu dengan mengambil penghuni panti yang kooperatif dan cenderung mudah di gali informasinya untuk menjawab masalah penelitian. Kriteria anak yang dipilih antara lain: 1) sudah cukup dewasa, dalam arti dapat mengerti dan menjawab pertanyaan dari pewawancara; 2) masih aktif dan ada di lingkungan Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus.
Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian ini, sumber data utama diperoleh melalui teknik wawancara. Wawancara atau interiew didefinisikan oleh Esterberg (2002) sebagai : ” a meeting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic”.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data pada penelitian ini karena peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden secara lebih mendalaam.
Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri ateu self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.
Pada penelitian ini digunakan teknik wawancara semiterstruktur (semistructure Interview). Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya.
Sebagai key instrument, peneliti mesti membekali kemampuan dalam metode penelitian kualitatif, etika penelitian dan kemampuan bidang ilmu yang ditekuni. Dengan kata lain ia harus memiliki integritas yang tidak diragukan sebagai peneliti. Integritas tersebut bukanlah personaliti dari seorang peneliti ilmiah saja tetapi terejawantahkan saat peneliti datang ke lapangan dan berbau dengan informan, bergaul secara wajar dan berperilaku menyenangkan. Oleh karena itu, hasil penelitian kualitatif salah satu kriteria keterpercayaannya berada pada orang yang menelitinya. Kredibilitas, reputasi, dan kepakarannya menjadi modal besar dan sekaligus menjadi ukuran diterima secara bulat atau dengan perdebatan.
Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Aktivitas dalam analisis data , yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
Pengujian Kredibilitas Data
Berkaitan dengan keabsahan (validitas), Lincoln dan Guba (1985) menuliskan bahwa, dari sudut pandang peneliti kualitatif, realitas kehidupan harus dipandang sebagai suatu perangkat kostruksi mental yang bersifat majemuk. Pada penelitian ini, untuk menjamin keabsahan data, tim peneliti menggunakan pendekatan antara lain:
1. Perpanjangan pengamatan
2. Meningkatkan ketekunan
3. Triangulasi sumber
4. Pemeriksaan teman sejawat
5. Analisis kasus negatif
6. Membercheck
Hasil Penelitian
SDC Bambu Apus Cipayung ini menampung anak-anak yang mempunyai latar belakang beragam. Anak-anak di SDC berasal dari hampir seluruh penjuru Indonesia, latar belakang kegiatan mereka di jalanan berbeda, kehidupan atau keadaan keluarga asal berbeda, menjadi anak jalanan dengan cara yang berbeda, bahkan proses masuknya ke SDC juga bermacam-macam cara. Di tengah keberagaman ada beberapa kesamaan dari mereka, yaitu: mereka sama-sama berjuang untuk sekedar bertahan hidup di jalanan dan tidak tahu bagaimana kehidupannya di masa yang akan datang. Dengan adanya SDC, diharapkan ada perubahan keadaan bagi anak-anak jalanan ini. Paling tidak ada setitik cahaya di kegelapan pikiran mereka, ada sedikit tenaga untuk bangkit dari ketidakjelasannya.
Anak jalanan identik dengan kemiskinan, mereka hidup dengan melalui perjuangan hidup yang luar biasa berat. Bahkan jika itu terlalu lama, nyaris keputus asaan menghinggapi mental mereka. Belum lagi masa lalunya sebagai anak dalam perkembangan hidupnya kurang mendapatkan asupan gizi yang cukup. Hal ini akan memperlemah daya pikir yang mengakibatkan melemahnya daya juang mereka. Untuk itu, motivasi mereka terhadap masa depan walaupun di SDC diberikan bermacam-macam pelatihan juga kurang kuat seperti layaknya anak-anak yang tidak mempunyai masalah dalam kehidupannya. Tidak ada target atau harapan-harapan yang berlebihan dari mereka, yang penting ada perubahan nasib saja sudah cukup.
Anak-anak jalanan di SDC hampir 90% sudah lama tidak sekolah, bahkan keluar dari sekolah formal pun pada beberapa anak tidak diurus dengan jelas, sehingga tidak mempunyai rekomendasi atau catatan apapun dari sekolah formal mereka sebelumnya. Hal ini membuat mereka sudah tidak berminat lagi untuk sekolah, apalagi umur mereka sudah jauh dari tingkat sekolah yang wajar dilakukan orang lain. Namun ada beberapa anak memang baru beberapa bulan keluar dari sekolah lamanya, sehingga mau melanjutkan sekolah formal melalui SDC.
Keberagaman latar belakang anak-anak jalanan sangat mempengaruhi motivasi dan sikap mereka di SDC. Ada beberapa anak yang membuat kelompok-kelompok, mungkin sebelumnya mereka juga sudah kelompoknya atau berasal dari daerah/rumah singgah yang sama. Anak-anak yang sudah lama di jalanan dan terkontaminasi dengan hal – hal negatif mempunyai motivasi yang kurang dibandingkan dengan anak – anak yang belum lama dijalanan. Beberapa anak masih terlihat susah meninggalkan kebiasaan merokok ( dengan merokok sembunyi-sembunyi), ada yang tidak mau merokok sama sekali, bahkan ada beberapa anak yang disebutkan masih terbiasa “ngelem” sembunyi - sembunyi. Kebelummatangan berfikir terkadang membuat mereka menyikapi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Panti SDC menimbulkan kecemburuan (kursus berbeda, uang transport berbeda, atau perlakuan-perlakuan berbeda dari pembimbing masing - masing).
Kehidupan anak-anak jalanan sebelum berada di Panti SDC bermacam-macam. Kebanyakan mereka adalah pengamen, ada beberapa dari mereka adalah tukang semir sepatu, peminta-minta, atau memang tidak jelas kegiatannya. Seorang responden menyebutkan ia pernah menjadi pedagang asongan, tapi karena keuntungannya kecil, ia tidak mau lagi mengasong. Beberapa responden bahkan ada yang menyebutkan, sengaja kabur dari rumah karena masalah keluarga, yang notabene bukan karena masalah ekonomi.
Melalui pembinaan yang dilakukan di Panti SDC, anak-anak jalanan dapat bekerjasama dengan baik. Hal ini terlihat pada saat pembagian tugas dapat dilakukan dengan baik, sering berkumpul bersama-sama, dan tidak saling mengganggu dalam melaksanakan pelatihannya masing-masing.
Fasilitas dan pelatihan yang dilakukan di SDC bermacam-macam. Namun melihat keadaan anak-anak yang mempunyai tingkat kematangan berfikir, daya juang, dan cita-cita yang berbeda, maka mereka menyikapi fasilitas dan sarana pelatihan berbeda-beda juga. Ada yang menganggap latihan di SDC sangat penting buat masa depannya, namun ada yang biasa-biasa saja atau dengan kata lain yang penting dapat makan, tempat, dan uang jajan.
Fasilitas dan pelatihan yang dilakukan di Panti SDC diharapkan dapat membuat anak-anak jalanan yang ditampung berfikir untuk masa depannya. Dengan melihat bermacam-macam pelatihan yang ada di situ mungkin ada gambaran untuk menempuh hidupnya di kemudian hari. Namun ternyata tidak semua anak jalanan mempunyai tujuan yang jelas, ada beberapa yang harus diarahkan mengikuti kegiatan tertentu.
Jenis pelatihan yang ada di SDC sudah cukup beragam, namun dari pelatihan yang ada tersebut perlu ada perbaikan dari segi kwalitas dan kwantitasnya. Penambahan dan kelengkapan sarana serta bentuk pembinaan yang lebih profesional akan meningkatkan semangat dan hasil yang diperoleh. Beberapa anak mengeluh tempat latihannya terlalu jauh, sarana kurang memadai, dan pelatihnya kurang. Bahkan beberapa anak mengeluh karena sudah jauh – jauh datang ke tempat kursus, namu pelatihnya tidak datang.
Pembahasan
Setiap orang memiliki harapan-harapan, cita-cita, mimpi yang ingin diwujudkan. Keinginan dan harapan yang dimiliki individu untuk berprestasi (need for achievement) mendasari aspirasinya. Walaupun anak jalanan sering dianggap tidak memiliki aspirasi karena keterbatasan yang dimiliki, pada kenyataannya anak jalanan tetap memiliki harapan-harapan dan aspirasi yang menonjol dalam dirinya. Keputusan anak untuk menjadi seorang anak jalanan, dipengaruhi oleh banyak faktor dan penyebab. Shalahuddin (2004 : 71) mengemukakan bahwa berbagai hasil studi atau laporan program pelaksanaan pembinaan bagi anak jalanan cenderung memandang kemiskinan (faktor ekonomi) dan keretakkan keluarga (faktor keluarga) sebagai faktor pendorong yang paling dominan menyebabkan anak turun ke jalan. Kedua faktor tersebut saling berkait, mengingat kemiskinan dapat memicu keretakkan dalam keluarga. Farid (dalam Shalahuddin, 2004 : 73) menyatakan bahwa kemiskinan menciptakan kondisi kunci dalam mendorong anak menjadi anak jalanan.
Awal subyek turun ke jalanan merupakan peristiwa yang menyebabkan seorang anak ingin turun ke jalanan. Subjek mengawali kegiatannya di jalanan pada umumnya dipengaruhi oleh teman (pergaulan) dan keinginan untuk mencari uang sendiri. Beberapa subyek mempunyai pengaruh keluarga antara lain, masalah keluarga yang inharmonis, keuangan keluarga yang tidak menentu sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga, pengaruh saudara yang lebih dulu menjadi anak jalanan, baik berupa ajakan maupun perilaku meniru (modeling), dan pengaruh dorongan dari orang tua yang bermotif eksploitasi ekonomi.
Pekerjaan orang tua menggambarkan kondisi perekonomian keluarga anak jalanan. Pada umumnya orang tua anak jalanan memiliki pekerjaan yang berpendapatan kecil seperti tukang cuci, pengemis, atau bahkan tidak bekerja. Kondisi kesejahteraan keluarga pada umumnya berada pada tingkat yang rendah, bahkan dapat dikatakan miskin. Belum terpenuhinya kesejahteraan keluarga oleh orang tua, mempengaruhi pola asuh yang diterapkan.
Dari kelima responden, Dedi, Yusup, Syawal, dan Adnan memiliki cita – cita yang hampir sama, datang ke SDC dengan harapan ingin belajar ketrampilan, tidak ingin selamanya di jalan, bahkan ingin kembali pulang ke kampung, dan ingin menjalin hubungan dengan lawan jenis dan menikah. Mereka sama – sama berminat mengikuti kursus las, meskipun dengan intens motivasi berbeda karena memang pada dasarnya mereka masih remaja yang suka berubah – ubah pikiran dalam memandang cita – citanya.
Subyek Adnan, mempunyai catatan yang tergolong melancholic, pada dasarnya sangat tidak mandiri, takut tetapi lingkungan jalanan membuatnya harus berani, sehingga ketika ia datang ke SDC merasa ia ingin di SDC seterusnya munngkin karena alasan keamanan dan kenyamanan diri. Subyek Syawal, tidak nyaman ketika ia diwawancara mengenai apakah ia menggunakan obat - obatan. Dedi dan Yusup merasa terintimidasi oleh pertanyaan – pertanyaan seputar kehidupan jalanan. Alasan mereka dapat dijelaskan bahwa, beberapa faktor yang mempengaruhi sikap - sikap anak jalanan ini adalah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), minat, nilai, persepsi dan afeksi interpersonal, jenis kelamin, pengalaman masa lalu, hubungan dengan teman, lingkungan tempat tinggal dan faktor peluang. Peneliti kemudian membedakan faktor-faktor yang ditemukan di lapangan tersebut menjadi faktor personal dan faktor situasional subjek. Faktor personal adalah faktor yang berasal dari dalam diri subjek.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa faktor personal yang ditemukan pada keempat subjek antara lain adalah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), minat, nilai, serta persepsi dan afeksi interpersonal. Faktor situasional adalah faktor yang berasal dari luar diri subjek (lingkungan). Faktor situasional yang dominan adalah hubungan subjek dengan teman-teman di jalanan, lingkungan tempat tinggal dan peluang.
Mekanisme pertahanan diri inilah yang tentu akan mempengaruhi pilihan mereka dalam memenuhi tugas perkembangan mereka. Pada usia mereka, sekitar usia 17 tahun, muncul dorongan dan cita-cita, memilih pekerjaan, memilih teman, merencanakan hidup mandiri dan merencanakan hidup mereka dimasa mendatang.
Pada subjek Dedi, selain sakit yang dikeluhkannya, ia berkesempatan untuk dibawa ke SDC sehingga ia merasa motivated, bermimpi dan ingin bekerja di bengkel atau di kantor kelak ketika selesai dari SDC. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah, ia sudah mulai jenuh dan lelah berada di jalanan, hingga ia merasa harus merencanakan masa depannya.
Pada subjek Yusup, faktor dominan yang berperan adalah peluangnya masuk di SDC dan pengaruh teman yang membuatnya berubah – ubah dalam merencanakan masa depannya. Ada kecenderungan ia masih ingin hidup bebas di jalan, tetapi teman – temannya jauh lebih mapan dalam merencanakan masa depannya. Hal ini sama hampir sama kondisinya dengan Syawal, hanya saja Syawal lebih lama di jalanan, dan lebih contaminated dengan budaya anak jalanan.
Kesimpulan
1. Rata-rata motivasi anak jalanan untuk menempuh masa depan kurang, dikarenakan latar belakang mereka dari keluarga miskin yang tidak maksimal mencukupi kebutuhan makanan sehingga kekuatan berfikir mereka kurang, atau terlalu lama menjadi bagian dari golongan yang kurang beruntung yang beban hidupnya berat sehingga rasa pesimisnya atau bahkan apatisnya tinggi, atau bahkan karena beliau merasa menjadi orang yang tak berharga atau terkucilkan maka ada kesan menutup diri terhadap pengaruh atau niatan-niatan baik pihak luar.
2. Hanya ada beberapa dari mereka yang berminat untuk belajar secara formal dan yang lainnya hanya berminat untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, ini dikarenakan pesimistis yang mereka miliki atau bahkan sudah terlalu lama tidak sekolah.
3. Pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti kebanyakan tidak dia lakukan secara maksimal, terbukti banyak waktu-waktu kosong yang tidak digunakan untuk menunjang pada ketrampilan mereka agar benar-benar mempunyai ketrampilan yang maksimal, bahkan kebiasaan-kebiasaan negative mereka di masa menjadi anak jalanan masih suka dilakukan walaupun sembunyi-sembunyi.
4. Perlu adanya tambahan-tambahan fasilitas, sarana latihan, dan tenaga ahli yang dapat mengakomodir semua kegiatan yang diharapkan anak.
Dari kesimpulan tadi, tentunya ada beberapa hal yang dapat diupayakan untuk meningkatkan manfaat pelayanan SDC atau agar pelayanan menjadi menyasar dan tidak sia-sia, diantaranya adalah:
1. Awal dari semua keinginan untuk merubah anak-anak jalanan tersebut hanya dapat dilakukan jika pintu hati mereka terbuka. Anak-anak harus sadar tentang keberadaan dirinya, anak-anak harus dibangkitkan semangat hidupnya, dan mereka harus mendapat perhatian dan kasih sayang supaya mereka merasa dimanusiakan. Sehingga Panti SDC harus mempersiapkan: psikolog-psikolog yang handal, tambahan tenaga pembimbing yang penuh kasih sayang, dan pengawasan yang ekstra.
2. Perlu adanya suasana kegiatan yang hidup di dalam Panti dengan mengadakan pembiasaan-pembiasaan yang mendukung motivasi mereka menempuh masa depan, misal: pelatihan yang menghasilkan produk sebagai rasa bangga dan percaya diri, atau mungkin dengan mencari mitra kerja sama untuk magang, dan sebagainya.
3. Karena merupakan wadah pembinaan dan pendidikan, tidak salah jika mengajak instansi-instansi pendidikan seperti perguruan tinggi untuk membantu memikirkan format pembinaan yang tepat dan menyasar.
4. Perlu mendata anak-anak yang keluar dari SDC apakah kegiatan mereka setelah mengikuti pelatihan SDC sebagai referensi untuk evaluasi program yang telah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Adner, M.J., The Paidea Proposal; An Educational Manifesto, New York: Collier, 1998
Anonim, Landasan Hukum Pelaksanaan Prakerin, 2010, http://smkn1purwakarta.blogspot.com/2008/05/landasan-hukum-pendidikan-sistem-ganda.html
Anonim, Pemerintah akan Seimbangkan Jumlah Siswa SMK – SMA, 2010, http://www.diknas.go.id/headline.php?id=869, diunduh pada 15 Juni 2010, 9:51
Astuti, Puji, Model Penyelenggaraan Praktek Kerja Industri, Semarang: Skripsi, Universitas Negeri Semarang, 2007
Aulia, Luki,2014, 70 Persen Lulusan SMK Terserap Pasar Kerja, KOMPAS.com, 2010,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/26/16324716/2014..70.Persen.Lulusan.SMK.Terserap.Pasar.Kerja, diunduh terakhir pada 15 Juni 2010, 9:14
Berg, Bruce L., Qualitative Research Methods for the Social Sciences, Boston: Allyn and Bacon, Inc., 2007
Bowden, John A., Competency Based Educational-Neither a Panacea nor a Pariah, 2008, http://www.crm-hct.ac.ae
Carnevale dan Porro, Quality Education, Washington DC: School Reform for the New American Economy, 1994
Chariri, Anis, Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif, Paper disajikan pada Workshop Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009, diunduh dari www.google.com
Creswell, John W., Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing among Five Traditions, California: Sage Publication, 1998
Denzin, Norman K., dan Lincoln, Yvonna S., Handbook of Qualitative Research, 2nd Edition, London: Sage Publication Inc., 2000
Depdikbud, Keputusan Menteri RI Nomor 323/U/1987 tentang Pendidikan Sistem Ganda (PSG), 1987
Depdikbud, Keterampilan Menjelang 2020 Untuk Era Global, Jakarta: Dit. Dikmenjur, 1997
Depdikbud, Konsep Sistem Ganda Pada SMK di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Dit. Dikmenjur, 1994
Dewey, John, Pengalaman dan Pendidikan, Terjemahan John de Santo, Yogyakarta: Kepel Press, 2002
Dikmenjur, Kurikulum SMK Edisi 2004 , Jakarta: Dikmenjur, Depdiknas, 2004
Direktorat Pembinaan SMK, Data Pokok Sekolah Menengah Kejuruan, 2010, http://datapokok.ditpsmk.net/index.php, diunduh terakhir pada 10 Mei 2010, 10.09
Djauharis, R., Perbaikan Sistem Pendidikan Sekolah Kejuruan Dalam Melaksanakan PSG, Jakarta, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. III No. 010, September 1997
Djojonegoro, Wardiman, Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta: PT Balai Pustaka, 1999
Djojonegoro, Wardiman, Visi Pendidikan Indonesia Masa Depan, (Jakarta: Seminar Nasional Pendidikan Indonesia Universitas Pelita Harapan, 2004), p. 13
Elliot, Janet, The Organization of Productive Work In Secondary Technical and Vocational Education In The United Kingdom, London: UNESCO, 1993
Evans, Rupert N., dan Edwin, Lewis H., Foundation of Vocational Education, Columbus, Ohio: Charles E. Merril Publishing Company, 1978
Finch, Charles, dan Crunkilton, James R., Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning,Content and Implementation, Boston: Allyn and Bacon Inc., 1984
Fitriana, Ratna, Lulusan S2 Diminta Bantu Atasi Pengangguran, 2010, http://bataviase.co.id/node/213653, diunduh terakhir pada 15 Mei 2010, 22:15
Hadi, Dwi Winanto, Menengok Pendidikan Kejuruan di Republik Federasi German (FRG), Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Th. IV No. 13, Juni 1998
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: PT Bumi Karsa, 2004
Huda, Miftachul, Pendidikan Islam dan Kewirausahaan, 2010,http://suara-muhammadiyah.com/2010/?p=989, diunduh terakhir pada 15 Mei 2010, 22:15
Lincoln, Yvonna S., dan Guba, Egon G., Naturalistic Inquiry, Beverly Hills, California: Sage Publications, 1985
Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional, Konsep Pendidikan Sistem Ganda Pada Sekolah Menengah Kejuruan di Indonesia , Jakarta: Depdikbud, 1996
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Rake Sarasin, 1996
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003
Nasir, Bakri, Gagasan Pokok Pendidikan Sistem Ganda di Lima Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. IV, No. 013, Juni 1998
National Centre for Vocational Education Research (NCVER), Competency Based Training in Australia, Research at a Glance, Adelaide: Gillinghan Printers, 1999
Patilima, Hamid, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2007
Patton, Michael Quinn, Metode Evaluasi Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Statistik Persekolahan SMK, Jakarta, Depdiknas, Balitbang, 2008
Samsudi, Daya Serap Lulusan SMK Masih Rendah, Disampaikan pada Pidato Dies Natalis ke-43 Unnes, 2008, http://www.republika.co.id/
Santoso, Imam Budi, Persepsi Siswa Kelas III Terhadap Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Pada SMK Negeri 3 Semarang Tahun Ajaran 2003/2004 , Semarang: Skripsi, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang, 2004
Satori, Djam’an, dan Komariah, Aan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009
SCBS Lombok, 2014 Sebagian Besar Lulusan SMK Terserap Pasar Kerja, 2010, http://scbsradiolombok.wordpress.com/2010/01/26/2014-sebagian-besar-lulusan-smk-terserap-pasar-kerja/, diunduh terakhir pada 10 Juni 2010, 9:39
Slamet, Mamiek, Hasil Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Ganda, Jakarta: Jurnal Pendidikan Nasional, edisi khusus, 2004
Slamet, PH , Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Depdiknas, 2002
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: PT Media Indonesia, 2008
Soenaryo, et. al., Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 2002
Sriyono, Strategi Perencanaan Dan Pengembangan Pendidikan Kejuruan Di Indonesia, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK) di kampus Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 25 Nopember 2006, Bandung : UPI, 2006
Sudjana, Djudju, Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Falah Production, 2000
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2008
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001
Sunaryo, Persepsi Dunia Industri Dalam Pelaksanaan Program Link And Match Pada Indikator Penyusunan Program, Penyusunan Kurikulum, dan Pelaksanaan Pendidikan SMK, Semarang : Skripsi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. 1996
Suryadi, Ace, Link and Match Kebutuhan Mendasar Pengembangan SDM, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th, IV No.013, Juni 1998
Sutikno, M. Sobry, Menuju Pendidikan Bermutu, Mataram: NTP Press, 2004
The Educational System in Germany, The Dual System: Part-time Vocational Education, The Development and Implementation of Education Standards in Germany, Archived Information 1999, 2008, (http://www.ed.Gove/pubs/German Case study/chapter 2nd html)
Thorogood, Ray, Current Times in Vocational Education and Training Policies, Part I, Industrial and Comercial Training 9, 2009, www.google.com
Triatna, Cepi, Menggagas Sinergitas Dunia Pendidikan Dengan Dunia Industri dan Dunia Usaha, Bandung: Bahan Kajian Pada 17 Februari 2010 Di Forum Peningkatan Mutu Pendidikan Provinsi Jabar
Wena, Made, Pemanfaatan Industri Sebagai Sumber Belajar dalam Pendidikan Sistem Ganda, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Th. III, No. 010, September, 1997
Wena, Made, Pendidikan Sistem Ganda, Bandung: Penerbit Tarsito
Wibowo, Alexander Jatmiko dan Tjiptono, Pendidikan Berbasis Kompetensi: Belajar dari Dunia Kerja, Yogyakarta: Universitas Atma-Jaya, 2002
Nama : Achmad
Tahun Lulus : 2008
No.Reg : 5215047423
Pembimbing 1 :Dr. YuliatriSastrawijaya, M.Pd
Pembimbing 2 :Drs. Jusuf Bintoro, MT
Motivasi Anak Jalanan Dalam menempuh Masa depan Studi Kasus di Panti Pembinaan Anak (PPA) Bambu Apus Oleh Hendrayadi faraiansyah (52151017316, ELKA NR) (Mahasiswa Univ.Negeri Jakarta)
Abstrak : Studi ini bertujuan untuk mengetahui antara lain: (1) latar belakang kehidupan anak-anak jalanan sebelum memasuki panti sosial anak Bambu Apus, (2) untuk mengetahui bentuk pembinaan yang diberikan oleh pihak panti sosial bambu Apus kepada anak-anak jalanan, (3) untuk mengetahui motivasi anak jalanan dalam mempersiapkan dan menempuh masa depannya pasca pembinaan di panti sosial anak bambu Apus, (4) Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif naturalistik dengan pendekatan studi kasus. Subyek penelitian ini adalah beberapa anak penghuni Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus Jakarta Timur.Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive snowball sampling, dengan teknik wawancara semiterstruktur (semistructure interview). Hasill penelitian mengungkapkan bahwa: (1) Rata-rata motivasi anak jalanan untuk menempuh masa depan kurang, dikarenakan latar belakang mereka dari keluarga miskin yang tidak maksimal mencukupi kebutuhan hidup. (2) Hanya ada beberapa dari mereka yang berminat untuk belajar secara formal dan yang lainnya hanya berminat untuk mengikuti pelatihan-pelatihan. (3) Pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti kebanyakan tidak dilakukan secara maksimal, sehingga perlu diterapkan metode pelatihan yang mengacu pada peningkatan kualitas.
Kata kunci: motivasi, anak jalanan, masa depan.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Dasawarsa terakhir ini isu kesejahteraan anak terus mendapat perhatian masyarakat dunia, mulai dari permasalahan buruh anak, peradilan anak, pelecehan seksual pada anak, dan anak jalanan. Hal tersebut juga dicerminkan dari banyaknya dokumen internasional yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Sedikitnya terdapat 16 dokumen internasional yang terkait dengan permasalahan anak, beberapa diantaranya: United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, Resolusi PBB 1985; The use of Children in The Illicit Traffics in Narcotic Drugs, Resolusi PBB MU-PBB 1988; Convention on The Right of The Child, Resolusi MU-PBB 1989; The Effect of Armed Conflict on Children Lives, Resolusi Komisi HAM PBB 1991; The Special Rapporteur on The Sale of Children, Child Prostitution And Child Pornography, Resolusi Komisi HAM PBB 1994.
Salah satu isu kesejahteraan anak yang terus berkembang menjadi perhatian dunia adalah masalah anak jalanan. Laporan dunia tentang situasi anak menyebutkan bahwa terdapat 30 juta anak tinggal dan menjaga diri mereka sendiri di jalan, sementara di Asia saat ini paling tidak terdapat sekitar 20 juta anak jalanan. Jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun yang akan datang (Childhope, 1991:40).
Demikian halnya di Indonesia, laporan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (1994) memberitakan bahwa fenomena anak jalanan semakin meningkat dari segi kualitas maupun kuantitas. Penelitian tersebut menemukan kenyataan bahwa sebagian besar anak jalanan berasal dari keluarga tidak mampu. Namun demikian hubungan kemiskinan dengan perginya anak ke jalanan bukanlah merupakan hubungan yang sederhana, diantaranya terdapat faktor-faktor intermediate seperti harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan anak dan langkanya dukungan keluarga (family support) pada saat krisis keluarga di rumah.
Hingga saat ini penangan masalah anak jalanan masih terbatas. Tinjauan terhadap berbagai kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa secara konseptual penanganan anak jalanan dijamin oleh kebijakan yang ada, namun hasil survey Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia terhadap 100 anak di jalan, menunjukkan hasil sebaliknya, hanya 10% anak jalanan yang terjangkau oleh program penanganan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun yang dilaksanakan oleh lembaga swadaya masyarakat (Publikasi YKAI, 1994).
Jika ditelusuri secara mendalam, fenomena anak jalanan secara garis besar sebagai akibat dari dua hal mendasar, yang pertama adalah problema psikososial, dimana hubungan antara orang tua dan anak tidak harmonis. Orang tua kurang peduli dan kurang perhatian kepada anak-anaknya sehingga anak mencari perhatian diluar rumah, yakni jalanan sebagai bentuk pelarian atau kompensasinya. Kedua, problema sosial ekonomi yang didominasi oleh masalah kemiskinan dan kebodohan, sehingga banyak orang tua atau keluarga yang tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar anak termasuk kebutuhan untuk mendapatkan pendidikan secara layak. Kurang atau tidak tersedianya fasilitas bermain bagi anak-anak di tempat tinggal mereka yang kumuh.
Dalam kondisi keluarga miskin, melarang mempekerjakan anak untuk membantu ekonomi keluarga menjadi tidak rasional bagi kelangsungan hidup keluarga. Pendekatan formal melalui penerapan hukum yang ketat terhadap pekerja anak akan sia-sia dilakukan, karena tidak akan memecahkan masalah yang dihadapi oleh keluarganya. Oleh karena itu perlu dicarikan jalan pemecahan yang dapat memberikan solusi bagi akar permasalahan yang sesungguhnya.
Identifikasi Masalah
Dalam menjalankan fungsi dan perannya, SDC Bambu Apus dituntut untuk professional dan dinamis sehingga mampu menjalankan dan mengembangkan aset-aset yang dimilikinya untuk digunakan seluas-luasnya dalam upaya memecahkan sebagian permasalahan anak jalanan. Dengan latar belakang seperti yang diuraikan diatas dan melihat fenomena yang terjadi dilapangan, maka muncul beberapa pertanyaan, antara lain:
1. Bagaimana motivasi anak jalanan yang dididik di panti anak/SDC menghadapi masa depan?
2. Apakah anak-anak yang diasuh di panti memiliki minat belajar di sekolah formal?
3. Apakah latar belakang anak di keluarga dan di jalanan sebelum masuk ke panti anak/SDC akan mempengaruhi sikap dan motivasi anak di panti anak/SDC?
4. Bagaimana kehidupan anak-anak jalanan itu sebelum mereka memasuki panti anak/SDC?
5. Jenis pembinaan seperti apa yang diterapkan di panti anak/SDC?
6. Apakah dampak (outcomes) dari pelatihan-pelatihan di panti anak/SDC terhadap anak jalanan?
7. Apakah anak-anak di panti anak/SDC memiliki cita-cita yang difasilitasi oleh panti dalam upaya menuju pencapaian cita-cita?
8. Jenis keterampilan apa yang diinginkan oleh anak-anak jalanan tersebut yang belum ada di panti anak/SDC yang menurut mereka lebih tepat diselenggarakan di panti anak/SDC?
Fokus Penelitian
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan diatas terdapat banyak masalah yang dapat menjadi fokus penelitian, namun tentu tidak dapat diteliti sekaligus dalam satu waktu penelitian oleh karena keterbatasan peneliti dan waktu penelitian, maka penelitian ini hanya difokuskan pada motivasi anak jalanan dalam menempuh masa depan.
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan fokus penelitian masalah diatas, maka masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang kehidupan yang dijalani oleh anak-anak jalanan sebelum mereka memasuki panti sosial anak Bambu Apus?
2. Jenis pembinaan apa saja yang diberikan oleh pihak panti sosial anak Bambu Apus kepada mantan anak-anak jalanan tersebut?
3. Bagaimana motivasi anak jalanan dalam mempersiapkan dan menempuh masa depannya setelah mengikuti pelatihan dan pembinaan di panti sosial anak Bambu Apus?
Manfaat Penelitian
1. Bagi pihak panti sosial anak Bambu Apus, diharapkan penelitian ini berguna sebagai masukan dalam pengembangan program pembinaan anak jalanan selanjutnya.
2. Bagi anak-anak jalanan, diharapkan penelitian ini dapat mengunkap keinginan dan aspirasi mereka terhadap lembaga pemerintah yang mengurusi masalah-masalah anak jalanan.
3. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan para peneliti dan dapat memberi motivasi untuk meningkatkan kemampuan meneliti dan meningkatkan daya guna di masyarakat.
4. Bagi pembaca umumnya, diharapkan hasil penelitian ini dapat mengetuk hati mereka agar lebih perduli terhadap masalah-masalah sosial, khususnya masalah anak jalanan yang merupakan fenomena tak terbantahkan namun diabaikan.
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian dan Karakteristik Anak Jalanan
Sebenarnya istilah anak jalanan pertama kali diperkenalkan di Amerika Selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak memiliki tali ikatan dengan keluarga (B.S. Bambang, 1993: 9). anak jalanan menurut PBB adalah anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan untuk bekerja, bermain atau beraktifitas lain. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau tercampak dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong, pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah. Tidak jarang menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan lain. Anak jalanan lebih mudah tertular kebiasaan tidak sehat dari kultur jalanan, khususnya seks bebas dan penyalagunaan obat. Lebih memprihatinkan lagi, lingkungan akan mendorong Anak jalanan menjadi obyek seksual seperti sodomi atau pelacuran anak.
Menurut Soedijar (1989) dalam studinya menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak usia antara 7 sampai 15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya.
Putranto dalam Agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan anak jalanan sebagai anak berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi dan tidak tinggal bersama orang tua mereka, dan bekerja seharian untuk memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum. Selain itu Sugeng Rahayu mendefinisikan anak jalanan adalah anak-anak yang berusia di bawah 21 tahun yang berada di jalanan untuk mencari nafkah yang dengan berbagai cara (tidak termasuk pengemis, gelandangan, bekerja di toko/kios).
Berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan di bedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.: 1997), yaitu:
Pertama, children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak–di jalan, tetapi masih mempunyai hubungan yang kuat dengan orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka dijalanan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya;
Kedua, children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab – biasanya kekerasan lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual (Irwanto, 1995).
Ketiga, children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang hidup di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala resikonya (Blanc & Associates, 1990;Irwanto dkk,1995; Taylor & Veale, 1996).
Menurut penelitian Departemen Sosial dan UNDP di Jakarta dan Surabaya (BKSN, 2000:2-4), anak jalanan dikelompokkan dalam empat kategori:
1. Anak jalanan yang hidup dijalanan, dengan kriteria:
a. Putus hubungan atau lama tidak ketemu
dengan orang tuanya;
b. 8-10 jam berada di jalanan untuk “bekerja” (mengamen, mengemis, memulung) dan sisanya menggelandang / tidur;
c. Tidak lagi sekolah;
d. Rata-rata berusia di bawah 14 tahun.
2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan,
dengan kriteria :
a. Berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b. 8-16 jam berada di jalanan
c. mengontrak kamar sendiri, bersama teman, ikut orang tua/saudara, umumnya didaerah kumuh;
d. Tidak lagi sekolah;
e. Pekerjaan : penjual koran, pengasong, pencuci bus, pemulung, penyemir sepatu, dll;
f. Rata-rata berusia dibawah 16 tahun.
3. Anak yang rentan menjadi anak jalanan,
dengan kriteria :
a. Bertemu taratur setiap hari / tinggal dan tidur dengan keluarganya;
b. 4-5 jam kerja dijalanan;
c. Masih bersekolah;
d. Pekerjaan : Penjual koran, penyemir, pengamen, dll;
e. Usia rata-rata di bawah 14 tahun.
4. Anak jalanan berusia diatas 16 tahun,
dengan kriteria :
a. Tidak lagi berhubungan / berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya;
b. 8-24 jam berada di jalanan;
c. Tidur dijalan atau rumah orang tua;
d. Sudah tamat SD atau SLTP, namun tidak bersekolah lagi;
e. Pekerjaan : calo, mencuci bis, menyemir, dll.
Lebih rinci dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:23-24) karakteristik anak jalanan dituangkan dalam matrik berupa tabel ciri-ciri fisik dan psikis anak jalanan berikut ini :
Ciri Fisik
Ciri Psikis
Warna kulit kusam
Rambut Kemerah-merahan
Kebanyakan berbadan kurus
Pakaian tidak terurus
Mobilitas tinggi
Acuh tak acuh
Penuh curiga
Sangat sensitif
Berwatak keras
Kreatif
Semangat hidup tinggi
Berani menanggung resiko
Mandiri
Tabel 2.1 Ciri-ciri Fisik dan Psikis Anak Jalanan
Faktor-Faktor Penyebab Timbul dan Tumbuhnya Anak Jalanan
Sementara ini banyak orang mengira bahwa faktor utama yang menyebabkan anak turun ke jalanan untuk bekerja dan hidup dijalan adalah karena faktor kemiskinan. Namun data dari literatur yang ada menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penyebab anak turun ke jalan. Berikut ini adalah secara umum ada tiga tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan (Depsos, 2001:25-26):
1. Tingkat mikro (immediate causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan keluarganya
2. Tingkat messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada dimasyarakat
3. Tingkat makro (basic causes), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro.
Pada tingkat mikro sebab yang bisa diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga bisa berdiri sendiri, yakni:
1. Lari dari keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus, berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
2. Sebab dari keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan dasar, ditolak orangtua, salah perawatan atau kekerasan dirumah, Kesulitan berhubungan dengan keluarga / tetangga, terpisah dengan orangtua, sikap-sikap yang salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak menghadapi masalah fisik, psikologis dan sosial.
Pada tingkat messo (masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi meliputi:
1. Pada masyarakat miskin, anak-anak adalah aset untuk membantu peningkatan keluarga, anak-anak diajarka bekerja yang berakibat drop out dari sekolah.
2. Pada masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan itu.
3. Penolakan masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon kriminal.
Pada tingkat makro (struktur masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah:
1. Ekonomi adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal keahlian, mereka harus lama dijalanan dan meninggalkan bangku sekolah, ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi.
2. Pendidikan adalah biaya sekolah yang tinggi, prilaku guru yang diskriminatif, dan ketentuan-ketentuan teknis dan birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.
3. Belum beragamnya unsur-unsur pemerintah memandang anak jalanan antara sebagai kelompok yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan pendekatan yang menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security approach/pendekatan keamanan).
Faktor-faktor yang membuat keluarga dan anaknya terpisah (BKSN,2000:111) adalah:
1. Faktor pendorong:
a. Keadaan ekonomi keluarga yang semakin dipersulit oleh besarnya kebutuhan yang ditanggung kepala keluarga, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, maka anak-anak disuruh ataupun dengan sukarela membantu mengatasi kondisi ekonomi tersebut.
b. Ketidakserasian dalam keluarga, sehingga anak tidak betah tinggal dirumah /anak lari dari keluarga.
c. Adanya kekerasan atau perlakuan salah dari orang tua terhadap anaknya sehingga anak lari dari rumah.
d. Kesulitan hidup dikampung, anak melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan mengikuti orang dewasa.
2. Faktor Penarik:
a. Kehidupan jalanan yang menjanjikan, dimana anak mudah mendapatkan uang, anak bisa bermain dan bergaul dengan bebas.
b. Diajak teman.
c. Adanya peluang disektor informal yang tidak terlalu membutuhkan modal dan keahlian.
Disamping faktor-faktor tersebut diatas lingkungan komunitas juga sebagai penyebab bagi gejala anak dijalanan terutama yang erat kaitannya dengan fungsi stabilitas sosial dari komunitas itu sendiri. Ada dua fungsi utama stabilitas komunitas, yaitu pemeliharaan tata nilai dan pendistribusian kesejahteraan dalam kalangan komunitas yang bersangkutan. Dalam pemeliharaan tata nilai misalnya tetangga atau tokoh masyarakat tidak menasehati menegor, ataupun melarang anak berkeliaran dijalan. Dan berkenaan dengan pendistribusian kurangnya bantuan dari tetangga atau organisasi sosial kemasyarakatan terhadap keluarga miskin dilingkungannya. Dengan kata lain belum memberikan perlindungan terhadap anak yang terlantar dilingkungan komunitasnya.
Proses Terjadinya Anak Jalanan
Oleh Tjuk Kasturi Sukiadi (1999:10) diungkapkan, bahwa proses terjadinya anak jalanan dibagi dalam beberapa pentahapan:
Tahap I : Pengetahuan Sampai Adanya Ketertarikan
Ada kebiasaan semakin berkelompok dari anak-anak di perkampungan. Mereka ini biasanya bersama kelompoknya jalan-jalan ketempat sebagaimana telah disepakati bersama. Diperjalanan mereka menjumpai anak-anak jalanan sedang bekerja. Sampai disini masih sebatas melihat dan sebagai pengetahuan mereka, bahwa ada pekerjaan yang bisa menghasilkan uang dan itu bisa dilakukan anak seusia mereka. Pada tahap ini masih tergantung pada masing-masing anak, seberapa besar perhatian dan ketertarikan pada pekerjaan tersebut. Namun dalam tahap ini tidak membuat anak langsung turun ke jalan, melainkan bergantung pada stimulus berikutnya (ada fasilitas)
Tahap II : Ketertarikan Sampai Keinginan
Dalam tahap ini merupakan tahap ketertarikan yang telah mendapat “fasilitas” atau faktor pendorong, seperti kondisi ekonomi atau kondisi keretakan hubungan orang tua. Fasilitas tersebut, akan semakin memperkuat keinginan anak untuk turun ke jalan.
Tahap III : Pelaksanaan
Si anak mulai melaksanakan niatan dengan mendatangi tempat operasi. Bila disini mereka menemukan teman yang sudah dikenal maka keinginan segera terealisasi meski agak malu-malu.
Tahap IV : Mulai Memasuki kehidupan Anak Jalanan
Dalam tahap ini si anak akan diterpa berbagai pengaruh kehidupan jalanan. Namun demikian hal ini juga tergantung pada diri anak itu sendiri dan teman yang membawanya. Yang tak kalah penting peranan orang tua untuk tetap mengontrolnya. Bila ketiga pihak diatas masih berada dijalanan, anak akan tetap positif dan tak tercerabut dari norma dan nilai yang telah dipegang sebelumnya.
Tahap V : Terjerumusnya atau Kembali Pada Kehidupan Wajar
Bila dalam perkembangannya si anak merasa bahwa mencari nafkah dijalanan semakin sulit, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bertahan dengan tetap memegang norma kemasyarakatan atau keluar dari komunitas jalanan. Kemungkinan kedua, bila menerima stimulus baik dari kawan maupun pihak lain untuk berbuat negatif, maka si anak sudah masuk dalam kategori anak jalanan bebas dimana norma agama dan kemasyarakatan cenderung ditinggalkan. Pada tahap inilah kecenderungan berprilaku menyimpang terjadi seperti, judi seks bebas, atau tindakan kriminal lainnya.
Motivasi Meraih Masa Depan
Setiap individu memiliki kondisi internal, dimana kondisi internal tersebut turut berperan dalam aktivitasnya sehari – hari. Salah satu dari kondisi internal tersebut adalah motivasi. Motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan seseorang untuk bertingkah laku. Djaali (2007) menyebutkan bahwa motivasi adalah kondisi fisiologis dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong untu melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan (kebutuhan).
Sementara Hamalik (2007) menyebutkan motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan. Fungsi motivasi sendiri adalah, 1) Mendorong timbulnya kekuatan atau perbuatan. Tanpa adanya motivasi tentu tidak akan timbul suatu perbuatan, seperti belajar; 2) Memotivasi berfungsi sebagai pengarah, artinya mengarahkan perbuatan mencapai tujuan yang diinginkan; 3) motivasi sebagai penggerak, yaitu, semacam mesin bagi mobil. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.
Istilah motivasi berasal dari kata motif, yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat. Motif tidak diamati secara langsung, tetapi dapat diinterpretasikan dalam tingkah lakunya, berupa rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga munculnya suatu tingkah laku tertentu. Uno (2007) menyebutkan bahwa motif berdasarkan sumbernya, dibedakan menjadi dua macam yaitu motif intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik, timbulnya tidak memerlukan rangsangan dari luar karena memang sudah ada dalam dirinya sendiri, yaitu sesuai dan sejalan dengan kebutuhannya. Sedangkan motif ekstrinsik, timbul karena adanya rangsangan dari luar individu, misalnya dalam pendidikan terdapat minat yang positif terhadap kegiatan pendidikan timbul karena melihat manfaatnya.
Motif intrinsik lebih kuat daripada motif ekstrinsik. Oleh karena itu pendidik harus berusaha menimbulkan motif intrinsik dengan menumbuhkan dan mengembangkan minat siswa terhadap bidang studi – bidang studi yang relevan, yaitu dengan jalan mengatur kondisi dan situasi belajar yang kondusif. Beberapa hal yang dapat menimbulkan motif intrinsik, antara lain: 1) Pendidik memperlakukan anak didiknya sebagai manusia berpribadi, menghargai pendapatnya, pikirannya, perasaannya, maupun keyakinannya; 2) Pendidik menggunakan berbagai metode dalam kegiatan pembelajaran; 3) Pendidik senantiasa memberikan bimbingan dan juga pengarahan kepada anak didiknya dan membantu apabila mengalami kesulitan, baik yang bersifat pribadi maupun akademik; 4) Pendidik harus mempunyai pengetahuan yang luas dan penguasaan bidang studi atau materi yang diajarkan anak didiknya; 5) pendidik harus mempunyai rasa cinta dan sikap pengabdian kepada profesinya sebagai seorang pendidik.
Motivasi adalah tenaga dorong yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah tujuan tertentu. Adanya motivasi pada diri siswa dapat terindikasi oleh kuatnya tingkah laku siswa untuk mencapai tujuan. Apabila siswa mempunyai motivasi tinggi, maka ia akan memperlihatkan dan mempunyai perhatian yang intens, bekerja keras dan memberikan waktu untuk usaha tersebut dan akan terus bekerja sampai tugas tersebut terselesaikan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif naturalistik dengan pendekatan studi kasus. Penelitian kualitatif dilakukan karena peneliti ingin mengeksplor fenomena – fenomena yang tidak dapat dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif. Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2010 yang berlokasi di Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus.
Penetapan Responden
Responden penelitian ini adalah beberapa anak penghuni Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus Jakarta Timur. Sampel penelitian ditentukan dengan teknik purposive snowball sampling, yaitu dengan mengambil penghuni panti yang kooperatif dan cenderung mudah di gali informasinya untuk menjawab masalah penelitian. Kriteria anak yang dipilih antara lain: 1) sudah cukup dewasa, dalam arti dapat mengerti dan menjawab pertanyaan dari pewawancara; 2) masih aktif dan ada di lingkungan Panti Sosial Anak Jalanan Bambu Apus.
Teknik Pengumpulan data
Dalam penelitian ini, sumber data utama diperoleh melalui teknik wawancara. Wawancara atau interiew didefinisikan oleh Esterberg (2002) sebagai : ” a meeting of two persons to exchange information and idea through question and responses, resulting in communication and joint construction of meaning about a particular topic”.
Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data pada penelitian ini karena peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden secara lebih mendalaam.
Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri ateu self report, atau setidak-tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi.
Pada penelitian ini digunakan teknik wawancara semiterstruktur (semistructure Interview). Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-depth interview, dimana pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya.
Sebagai key instrument, peneliti mesti membekali kemampuan dalam metode penelitian kualitatif, etika penelitian dan kemampuan bidang ilmu yang ditekuni. Dengan kata lain ia harus memiliki integritas yang tidak diragukan sebagai peneliti. Integritas tersebut bukanlah personaliti dari seorang peneliti ilmiah saja tetapi terejawantahkan saat peneliti datang ke lapangan dan berbau dengan informan, bergaul secara wajar dan berperilaku menyenangkan. Oleh karena itu, hasil penelitian kualitatif salah satu kriteria keterpercayaannya berada pada orang yang menelitinya. Kredibilitas, reputasi, dan kepakarannya menjadi modal besar dan sekaligus menjadi ukuran diterima secara bulat atau dengan perdebatan.
Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaan lagi, sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Aktivitas dalam analisis data , yaitu data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.
Pengujian Kredibilitas Data
Berkaitan dengan keabsahan (validitas), Lincoln dan Guba (1985) menuliskan bahwa, dari sudut pandang peneliti kualitatif, realitas kehidupan harus dipandang sebagai suatu perangkat kostruksi mental yang bersifat majemuk. Pada penelitian ini, untuk menjamin keabsahan data, tim peneliti menggunakan pendekatan antara lain:
1. Perpanjangan pengamatan
2. Meningkatkan ketekunan
3. Triangulasi sumber
4. Pemeriksaan teman sejawat
5. Analisis kasus negatif
6. Membercheck
Hasil Penelitian
SDC Bambu Apus Cipayung ini menampung anak-anak yang mempunyai latar belakang beragam. Anak-anak di SDC berasal dari hampir seluruh penjuru Indonesia, latar belakang kegiatan mereka di jalanan berbeda, kehidupan atau keadaan keluarga asal berbeda, menjadi anak jalanan dengan cara yang berbeda, bahkan proses masuknya ke SDC juga bermacam-macam cara. Di tengah keberagaman ada beberapa kesamaan dari mereka, yaitu: mereka sama-sama berjuang untuk sekedar bertahan hidup di jalanan dan tidak tahu bagaimana kehidupannya di masa yang akan datang. Dengan adanya SDC, diharapkan ada perubahan keadaan bagi anak-anak jalanan ini. Paling tidak ada setitik cahaya di kegelapan pikiran mereka, ada sedikit tenaga untuk bangkit dari ketidakjelasannya.
Anak jalanan identik dengan kemiskinan, mereka hidup dengan melalui perjuangan hidup yang luar biasa berat. Bahkan jika itu terlalu lama, nyaris keputus asaan menghinggapi mental mereka. Belum lagi masa lalunya sebagai anak dalam perkembangan hidupnya kurang mendapatkan asupan gizi yang cukup. Hal ini akan memperlemah daya pikir yang mengakibatkan melemahnya daya juang mereka. Untuk itu, motivasi mereka terhadap masa depan walaupun di SDC diberikan bermacam-macam pelatihan juga kurang kuat seperti layaknya anak-anak yang tidak mempunyai masalah dalam kehidupannya. Tidak ada target atau harapan-harapan yang berlebihan dari mereka, yang penting ada perubahan nasib saja sudah cukup.
Anak-anak jalanan di SDC hampir 90% sudah lama tidak sekolah, bahkan keluar dari sekolah formal pun pada beberapa anak tidak diurus dengan jelas, sehingga tidak mempunyai rekomendasi atau catatan apapun dari sekolah formal mereka sebelumnya. Hal ini membuat mereka sudah tidak berminat lagi untuk sekolah, apalagi umur mereka sudah jauh dari tingkat sekolah yang wajar dilakukan orang lain. Namun ada beberapa anak memang baru beberapa bulan keluar dari sekolah lamanya, sehingga mau melanjutkan sekolah formal melalui SDC.
Keberagaman latar belakang anak-anak jalanan sangat mempengaruhi motivasi dan sikap mereka di SDC. Ada beberapa anak yang membuat kelompok-kelompok, mungkin sebelumnya mereka juga sudah kelompoknya atau berasal dari daerah/rumah singgah yang sama. Anak-anak yang sudah lama di jalanan dan terkontaminasi dengan hal – hal negatif mempunyai motivasi yang kurang dibandingkan dengan anak – anak yang belum lama dijalanan. Beberapa anak masih terlihat susah meninggalkan kebiasaan merokok ( dengan merokok sembunyi-sembunyi), ada yang tidak mau merokok sama sekali, bahkan ada beberapa anak yang disebutkan masih terbiasa “ngelem” sembunyi - sembunyi. Kebelummatangan berfikir terkadang membuat mereka menyikapi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Panti SDC menimbulkan kecemburuan (kursus berbeda, uang transport berbeda, atau perlakuan-perlakuan berbeda dari pembimbing masing - masing).
Kehidupan anak-anak jalanan sebelum berada di Panti SDC bermacam-macam. Kebanyakan mereka adalah pengamen, ada beberapa dari mereka adalah tukang semir sepatu, peminta-minta, atau memang tidak jelas kegiatannya. Seorang responden menyebutkan ia pernah menjadi pedagang asongan, tapi karena keuntungannya kecil, ia tidak mau lagi mengasong. Beberapa responden bahkan ada yang menyebutkan, sengaja kabur dari rumah karena masalah keluarga, yang notabene bukan karena masalah ekonomi.
Melalui pembinaan yang dilakukan di Panti SDC, anak-anak jalanan dapat bekerjasama dengan baik. Hal ini terlihat pada saat pembagian tugas dapat dilakukan dengan baik, sering berkumpul bersama-sama, dan tidak saling mengganggu dalam melaksanakan pelatihannya masing-masing.
Fasilitas dan pelatihan yang dilakukan di SDC bermacam-macam. Namun melihat keadaan anak-anak yang mempunyai tingkat kematangan berfikir, daya juang, dan cita-cita yang berbeda, maka mereka menyikapi fasilitas dan sarana pelatihan berbeda-beda juga. Ada yang menganggap latihan di SDC sangat penting buat masa depannya, namun ada yang biasa-biasa saja atau dengan kata lain yang penting dapat makan, tempat, dan uang jajan.
Fasilitas dan pelatihan yang dilakukan di Panti SDC diharapkan dapat membuat anak-anak jalanan yang ditampung berfikir untuk masa depannya. Dengan melihat bermacam-macam pelatihan yang ada di situ mungkin ada gambaran untuk menempuh hidupnya di kemudian hari. Namun ternyata tidak semua anak jalanan mempunyai tujuan yang jelas, ada beberapa yang harus diarahkan mengikuti kegiatan tertentu.
Jenis pelatihan yang ada di SDC sudah cukup beragam, namun dari pelatihan yang ada tersebut perlu ada perbaikan dari segi kwalitas dan kwantitasnya. Penambahan dan kelengkapan sarana serta bentuk pembinaan yang lebih profesional akan meningkatkan semangat dan hasil yang diperoleh. Beberapa anak mengeluh tempat latihannya terlalu jauh, sarana kurang memadai, dan pelatihnya kurang. Bahkan beberapa anak mengeluh karena sudah jauh – jauh datang ke tempat kursus, namu pelatihnya tidak datang.
Pembahasan
Setiap orang memiliki harapan-harapan, cita-cita, mimpi yang ingin diwujudkan. Keinginan dan harapan yang dimiliki individu untuk berprestasi (need for achievement) mendasari aspirasinya. Walaupun anak jalanan sering dianggap tidak memiliki aspirasi karena keterbatasan yang dimiliki, pada kenyataannya anak jalanan tetap memiliki harapan-harapan dan aspirasi yang menonjol dalam dirinya. Keputusan anak untuk menjadi seorang anak jalanan, dipengaruhi oleh banyak faktor dan penyebab. Shalahuddin (2004 : 71) mengemukakan bahwa berbagai hasil studi atau laporan program pelaksanaan pembinaan bagi anak jalanan cenderung memandang kemiskinan (faktor ekonomi) dan keretakkan keluarga (faktor keluarga) sebagai faktor pendorong yang paling dominan menyebabkan anak turun ke jalan. Kedua faktor tersebut saling berkait, mengingat kemiskinan dapat memicu keretakkan dalam keluarga. Farid (dalam Shalahuddin, 2004 : 73) menyatakan bahwa kemiskinan menciptakan kondisi kunci dalam mendorong anak menjadi anak jalanan.
Awal subyek turun ke jalanan merupakan peristiwa yang menyebabkan seorang anak ingin turun ke jalanan. Subjek mengawali kegiatannya di jalanan pada umumnya dipengaruhi oleh teman (pergaulan) dan keinginan untuk mencari uang sendiri. Beberapa subyek mempunyai pengaruh keluarga antara lain, masalah keluarga yang inharmonis, keuangan keluarga yang tidak menentu sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga, pengaruh saudara yang lebih dulu menjadi anak jalanan, baik berupa ajakan maupun perilaku meniru (modeling), dan pengaruh dorongan dari orang tua yang bermotif eksploitasi ekonomi.
Pekerjaan orang tua menggambarkan kondisi perekonomian keluarga anak jalanan. Pada umumnya orang tua anak jalanan memiliki pekerjaan yang berpendapatan kecil seperti tukang cuci, pengemis, atau bahkan tidak bekerja. Kondisi kesejahteraan keluarga pada umumnya berada pada tingkat yang rendah, bahkan dapat dikatakan miskin. Belum terpenuhinya kesejahteraan keluarga oleh orang tua, mempengaruhi pola asuh yang diterapkan.
Dari kelima responden, Dedi, Yusup, Syawal, dan Adnan memiliki cita – cita yang hampir sama, datang ke SDC dengan harapan ingin belajar ketrampilan, tidak ingin selamanya di jalan, bahkan ingin kembali pulang ke kampung, dan ingin menjalin hubungan dengan lawan jenis dan menikah. Mereka sama – sama berminat mengikuti kursus las, meskipun dengan intens motivasi berbeda karena memang pada dasarnya mereka masih remaja yang suka berubah – ubah pikiran dalam memandang cita – citanya.
Subyek Adnan, mempunyai catatan yang tergolong melancholic, pada dasarnya sangat tidak mandiri, takut tetapi lingkungan jalanan membuatnya harus berani, sehingga ketika ia datang ke SDC merasa ia ingin di SDC seterusnya munngkin karena alasan keamanan dan kenyamanan diri. Subyek Syawal, tidak nyaman ketika ia diwawancara mengenai apakah ia menggunakan obat - obatan. Dedi dan Yusup merasa terintimidasi oleh pertanyaan – pertanyaan seputar kehidupan jalanan. Alasan mereka dapat dijelaskan bahwa, beberapa faktor yang mempengaruhi sikap - sikap anak jalanan ini adalah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), minat, nilai, persepsi dan afeksi interpersonal, jenis kelamin, pengalaman masa lalu, hubungan dengan teman, lingkungan tempat tinggal dan faktor peluang. Peneliti kemudian membedakan faktor-faktor yang ditemukan di lapangan tersebut menjadi faktor personal dan faktor situasional subjek. Faktor personal adalah faktor yang berasal dari dalam diri subjek.
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa faktor personal yang ditemukan pada keempat subjek antara lain adalah mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism), minat, nilai, serta persepsi dan afeksi interpersonal. Faktor situasional adalah faktor yang berasal dari luar diri subjek (lingkungan). Faktor situasional yang dominan adalah hubungan subjek dengan teman-teman di jalanan, lingkungan tempat tinggal dan peluang.
Mekanisme pertahanan diri inilah yang tentu akan mempengaruhi pilihan mereka dalam memenuhi tugas perkembangan mereka. Pada usia mereka, sekitar usia 17 tahun, muncul dorongan dan cita-cita, memilih pekerjaan, memilih teman, merencanakan hidup mandiri dan merencanakan hidup mereka dimasa mendatang.
Pada subjek Dedi, selain sakit yang dikeluhkannya, ia berkesempatan untuk dibawa ke SDC sehingga ia merasa motivated, bermimpi dan ingin bekerja di bengkel atau di kantor kelak ketika selesai dari SDC. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah, ia sudah mulai jenuh dan lelah berada di jalanan, hingga ia merasa harus merencanakan masa depannya.
Pada subjek Yusup, faktor dominan yang berperan adalah peluangnya masuk di SDC dan pengaruh teman yang membuatnya berubah – ubah dalam merencanakan masa depannya. Ada kecenderungan ia masih ingin hidup bebas di jalan, tetapi teman – temannya jauh lebih mapan dalam merencanakan masa depannya. Hal ini sama hampir sama kondisinya dengan Syawal, hanya saja Syawal lebih lama di jalanan, dan lebih contaminated dengan budaya anak jalanan.
Kesimpulan
1. Rata-rata motivasi anak jalanan untuk menempuh masa depan kurang, dikarenakan latar belakang mereka dari keluarga miskin yang tidak maksimal mencukupi kebutuhan makanan sehingga kekuatan berfikir mereka kurang, atau terlalu lama menjadi bagian dari golongan yang kurang beruntung yang beban hidupnya berat sehingga rasa pesimisnya atau bahkan apatisnya tinggi, atau bahkan karena beliau merasa menjadi orang yang tak berharga atau terkucilkan maka ada kesan menutup diri terhadap pengaruh atau niatan-niatan baik pihak luar.
2. Hanya ada beberapa dari mereka yang berminat untuk belajar secara formal dan yang lainnya hanya berminat untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, ini dikarenakan pesimistis yang mereka miliki atau bahkan sudah terlalu lama tidak sekolah.
3. Pelatihan-pelatihan yang mereka ikuti kebanyakan tidak dia lakukan secara maksimal, terbukti banyak waktu-waktu kosong yang tidak digunakan untuk menunjang pada ketrampilan mereka agar benar-benar mempunyai ketrampilan yang maksimal, bahkan kebiasaan-kebiasaan negative mereka di masa menjadi anak jalanan masih suka dilakukan walaupun sembunyi-sembunyi.
4. Perlu adanya tambahan-tambahan fasilitas, sarana latihan, dan tenaga ahli yang dapat mengakomodir semua kegiatan yang diharapkan anak.
Dari kesimpulan tadi, tentunya ada beberapa hal yang dapat diupayakan untuk meningkatkan manfaat pelayanan SDC atau agar pelayanan menjadi menyasar dan tidak sia-sia, diantaranya adalah:
1. Awal dari semua keinginan untuk merubah anak-anak jalanan tersebut hanya dapat dilakukan jika pintu hati mereka terbuka. Anak-anak harus sadar tentang keberadaan dirinya, anak-anak harus dibangkitkan semangat hidupnya, dan mereka harus mendapat perhatian dan kasih sayang supaya mereka merasa dimanusiakan. Sehingga Panti SDC harus mempersiapkan: psikolog-psikolog yang handal, tambahan tenaga pembimbing yang penuh kasih sayang, dan pengawasan yang ekstra.
2. Perlu adanya suasana kegiatan yang hidup di dalam Panti dengan mengadakan pembiasaan-pembiasaan yang mendukung motivasi mereka menempuh masa depan, misal: pelatihan yang menghasilkan produk sebagai rasa bangga dan percaya diri, atau mungkin dengan mencari mitra kerja sama untuk magang, dan sebagainya.
3. Karena merupakan wadah pembinaan dan pendidikan, tidak salah jika mengajak instansi-instansi pendidikan seperti perguruan tinggi untuk membantu memikirkan format pembinaan yang tepat dan menyasar.
4. Perlu mendata anak-anak yang keluar dari SDC apakah kegiatan mereka setelah mengikuti pelatihan SDC sebagai referensi untuk evaluasi program yang telah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Adner, M.J., The Paidea Proposal; An Educational Manifesto, New York: Collier, 1998
Anonim, Landasan Hukum Pelaksanaan Prakerin, 2010, http://smkn1purwakarta.blogspot.com/2008/05/landasan-hukum-pendidikan-sistem-ganda.html
Anonim, Pemerintah akan Seimbangkan Jumlah Siswa SMK – SMA, 2010, http://www.diknas.go.id/headline.php?id=869, diunduh pada 15 Juni 2010, 9:51
Astuti, Puji, Model Penyelenggaraan Praktek Kerja Industri, Semarang: Skripsi, Universitas Negeri Semarang, 2007
Aulia, Luki,2014, 70 Persen Lulusan SMK Terserap Pasar Kerja, KOMPAS.com, 2010,http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/26/16324716/2014..70.Persen.Lulusan.SMK.Terserap.Pasar.Kerja, diunduh terakhir pada 15 Juni 2010, 9:14
Berg, Bruce L., Qualitative Research Methods for the Social Sciences, Boston: Allyn and Bacon, Inc., 2007
Bowden, John A., Competency Based Educational-Neither a Panacea nor a Pariah, 2008, http://www.crm-hct.ac.ae
Carnevale dan Porro, Quality Education, Washington DC: School Reform for the New American Economy, 1994
Chariri, Anis, Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif, Paper disajikan pada Workshop Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009, diunduh dari www.google.com
Creswell, John W., Qualitative Inquiry and Research Design, Choosing among Five Traditions, California: Sage Publication, 1998
Denzin, Norman K., dan Lincoln, Yvonna S., Handbook of Qualitative Research, 2nd Edition, London: Sage Publication Inc., 2000
Depdikbud, Keputusan Menteri RI Nomor 323/U/1987 tentang Pendidikan Sistem Ganda (PSG), 1987
Depdikbud, Keterampilan Menjelang 2020 Untuk Era Global, Jakarta: Dit. Dikmenjur, 1997
Depdikbud, Konsep Sistem Ganda Pada SMK di Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Dit. Dikmenjur, 1994
Dewey, John, Pengalaman dan Pendidikan, Terjemahan John de Santo, Yogyakarta: Kepel Press, 2002
Dikmenjur, Kurikulum SMK Edisi 2004 , Jakarta: Dikmenjur, Depdiknas, 2004
Direktorat Pembinaan SMK, Data Pokok Sekolah Menengah Kejuruan, 2010, http://datapokok.ditpsmk.net/index.php, diunduh terakhir pada 10 Mei 2010, 10.09
Djauharis, R., Perbaikan Sistem Pendidikan Sekolah Kejuruan Dalam Melaksanakan PSG, Jakarta, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. III No. 010, September 1997
Djojonegoro, Wardiman, Pengembangan Sumber Daya Manusia Melalui Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta: PT Balai Pustaka, 1999
Djojonegoro, Wardiman, Visi Pendidikan Indonesia Masa Depan, (Jakarta: Seminar Nasional Pendidikan Indonesia Universitas Pelita Harapan, 2004), p. 13
Elliot, Janet, The Organization of Productive Work In Secondary Technical and Vocational Education In The United Kingdom, London: UNESCO, 1993
Evans, Rupert N., dan Edwin, Lewis H., Foundation of Vocational Education, Columbus, Ohio: Charles E. Merril Publishing Company, 1978
Finch, Charles, dan Crunkilton, James R., Curriculum Development in Vocational and Technical Education: Planning,Content and Implementation, Boston: Allyn and Bacon Inc., 1984
Fitriana, Ratna, Lulusan S2 Diminta Bantu Atasi Pengangguran, 2010, http://bataviase.co.id/node/213653, diunduh terakhir pada 15 Mei 2010, 22:15
Hadi, Dwi Winanto, Menengok Pendidikan Kejuruan di Republik Federasi German (FRG), Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Th. IV No. 13, Juni 1998
Hamalik, Oemar, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: PT Bumi Karsa, 2004
Huda, Miftachul, Pendidikan Islam dan Kewirausahaan, 2010,http://suara-muhammadiyah.com/2010/?p=989, diunduh terakhir pada 15 Mei 2010, 22:15
Lincoln, Yvonna S., dan Guba, Egon G., Naturalistic Inquiry, Beverly Hills, California: Sage Publications, 1985
Majelis Pendidikan Kejuruan Nasional, Konsep Pendidikan Sistem Ganda Pada Sekolah Menengah Kejuruan di Indonesia , Jakarta: Depdikbud, 1996
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
Muhadjir, Noeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogjakarta: Rake Sarasin, 1996
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu sosial Lainnya, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2003
Nasir, Bakri, Gagasan Pokok Pendidikan Sistem Ganda di Lima Sekolah Menengah Kejuruan, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th. IV, No. 013, Juni 1998
National Centre for Vocational Education Research (NCVER), Competency Based Training in Australia, Research at a Glance, Adelaide: Gillinghan Printers, 1999
Patilima, Hamid, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2007
Patton, Michael Quinn, Metode Evaluasi Kualitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Pusat Data dan Informasi Pendidikan, Statistik Persekolahan SMK, Jakarta, Depdiknas, Balitbang, 2008
Samsudi, Daya Serap Lulusan SMK Masih Rendah, Disampaikan pada Pidato Dies Natalis ke-43 Unnes, 2008, http://www.republika.co.id/
Santoso, Imam Budi, Persepsi Siswa Kelas III Terhadap Pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) Pada SMK Negeri 3 Semarang Tahun Ajaran 2003/2004 , Semarang: Skripsi, Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang, 2004
Satori, Djam’an, dan Komariah, Aan, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009
SCBS Lombok, 2014 Sebagian Besar Lulusan SMK Terserap Pasar Kerja, 2010, http://scbsradiolombok.wordpress.com/2010/01/26/2014-sebagian-besar-lulusan-smk-terserap-pasar-kerja/, diunduh terakhir pada 10 Juni 2010, 9:39
Slamet, Mamiek, Hasil Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Ganda, Jakarta: Jurnal Pendidikan Nasional, edisi khusus, 2004
Slamet, PH , Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Depdiknas, 2002
Soedijarto, Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Jakarta: PT Media Indonesia, 2008
Soenaryo, et. al., Sejarah Pendidikan Teknik dan Kejuruan di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, 2002
Sriyono, Strategi Perencanaan Dan Pengembangan Pendidikan Kejuruan Di Indonesia, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (PTK) di kampus Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia tanggal 25 Nopember 2006, Bandung : UPI, 2006
Sudjana, Djudju, Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Falah Production, 2000
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2008
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001
Sunaryo, Persepsi Dunia Industri Dalam Pelaksanaan Program Link And Match Pada Indikator Penyusunan Program, Penyusunan Kurikulum, dan Pelaksanaan Pendidikan SMK, Semarang : Skripsi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang. 1996
Suryadi, Ace, Link and Match Kebutuhan Mendasar Pengembangan SDM, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Th, IV No.013, Juni 1998
Sutikno, M. Sobry, Menuju Pendidikan Bermutu, Mataram: NTP Press, 2004
The Educational System in Germany, The Dual System: Part-time Vocational Education, The Development and Implementation of Education Standards in Germany, Archived Information 1999, 2008, (http://www.ed.Gove/pubs/German Case study/chapter 2nd html)
Thorogood, Ray, Current Times in Vocational Education and Training Policies, Part I, Industrial and Comercial Training 9, 2009, www.google.com
Triatna, Cepi, Menggagas Sinergitas Dunia Pendidikan Dengan Dunia Industri dan Dunia Usaha, Bandung: Bahan Kajian Pada 17 Februari 2010 Di Forum Peningkatan Mutu Pendidikan Provinsi Jabar
Wena, Made, Pemanfaatan Industri Sebagai Sumber Belajar dalam Pendidikan Sistem Ganda, Jakarta: Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Th. III, No. 010, September, 1997
Wena, Made, Pendidikan Sistem Ganda, Bandung: Penerbit Tarsito
Wibowo, Alexander Jatmiko dan Tjiptono, Pendidikan Berbasis Kompetensi: Belajar dari Dunia Kerja, Yogyakarta: Universitas Atma-Jaya, 2002